Images

Kembangkan Game Untuk Terapi Disleksia, Mahasiswa UGM Raih Juara


Disleksia (dyslexia) merupakan kelainan neurobiologis ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat dan kesulitan dalam kemampuan mengode simbol.

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang tergabung dalam tim LexiPal berhasil membuat aplikasi Kinect-based Dyslexia Therapy untuk siswa penyandang disleksia.

Lewat aplikasi tersebut, mereka membantu para siswa disleksia untuk memahami huruf dan melatih penggunaan otak kiri dan kanan dengan baik.


Tim LexiPal terdiri dari 4 mahasiswa jurusan teknik elektro prodi teknologi informasi, yakni Muhamad Risqi Utama Saputra, Kuntoro Adi Nugroho, Vina Sectiana Amretadewi, serta Taufiq Almahsyur dan 2 anggota lainnya Vremita Desectia Amretasari dari sastra perancis FIB, dan Fransiska Vena dari jurusan akuntansi FEB.

Risqi bersama timnya membuat aplikasi untuk menjalankan terapi disleksia menggunakan perangkat Microsoft Kinect. Perangkat ini diperuntukan untuk mengatasi ketidakmampuan belajar penderita dalam membaca. Pasalnya disleksia sangat sulit disembuhkan secara medis, namun efeknya bisa diminimalisir dengan melakukan terapi.

“Umumnya anak disleksia kesulitan mengucapakan kata dan huruf. Dipaksa mengucapakan setiap hari tentu membosankan dan cenderung membuat mereka emosional dan malas,“ kata Vremita.

Vremita menuturkan bahwa ide membuat aplikasi permainan terapi disleksia saat akan mengikuti perlombaan di bidang teknologi informasi. Ketertarikan untuk disleksia timbul setelah mereka mengetahui informasi hasil laporan penelitian US Department of Health and Human Service tahun 2006 yang menyebutkan 10 persen populasi dunia menderita disleksia. Bahkan dari penelitian di sebuah penjara Amerika menyebutkan 51 persen penghuni penjara merupakan penderita disleksia.

Kendati tidak ada penelitian resmi tentang disleksia di Indonesia, mereka pun akhirnya coba terjun ke lapangan, diantaranya mengunjungi beberapa sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan khsusus serta berkonsultasi dengan psikolog untuk mengetahui lebih jauh tentang disleksia.

Awal tahun 2012 mereka melakukan riset selama 2-3 bulan di beberapa sekolah dasar dan sanggar belajar di Yogyakarta untuk mengetahui kondisi anak-anak penderita disleksia. “Kita temui ada 2-3 anak disleksia di setiap sekolah,” katanya.

Mengetahui tidak ada yang berbeda cara mengajar anak disleksia dengan anak normal lainnya, Risqy bersama rekan-rekannya membuat model pengajaran dengan menggunakan teknologi informasi. Lewat aplikasi Kinect Windows presentation dikombinasikan kinect x box dan menghabiskan dana kurang lebih Rp 2,5 juta mereka berhasil membuat aplikasi yang bisa dimanfaatkan untuk mengajar siswa penyandang disleksia.

Bahkan terapi disleksia yang menyenangkan melalui gamifikasi menggunakan Microsoft Kinect sengaja dibuat sesuai dengan koridor penyelenggaraan terapi disleksia. Salah satu contoh fiturnya adalah spelling/pronouncing game, yaitu permainan yang didesain untuk meng-encourage penyandang disleksia dalam mengucapkan suatu huruf/kata yang sulit diucapkan.

“Penyandang disleksia akan diminta mengucapkan huruf atau kata yang sesuai dan aplikasi akan menganalisisnya dengan bantuan speech recognition pada Kinect,” kata Risqy.

Setiap kali penyandang disleksia berhasil mengucapkan huruf atau kata tersebut dengan benar, seekor kera dalam aplikasi akan memanjat naik menuju buah pisang idamannya dan aplikasi akan memberikan sejumlah poin tertentu sebagai penghargaan atas keberhasilan dalam melakukan terapi tersebut.

Karena aplikasi yang mereka buat terbilang unik dan inovatif, Tim lexipal mendapat penghargaan pemenang terbaik II untuk kategori teknologi informasi dalam ajang Mandiri Young Technopreneurship yang berlangsung di Jakarta 17 Januari 2013 lalu.

0 comments:

Handika Mulvi Handika Mulvi