
Budi Utomo mengatakan bahwa alat buatannya ini diperuntukan untuk para perajin batik yang berada di kampung dengan gang sempit. “Untuk itu, alat ini dibuat tidak terlalu besar dan diberi roda agar bisa mobile dan masuk ke kampung perajin batik,” kata Budi.
Sekilas bentuknya mirip sebuah gerobak yang biasa digunakan pedagang es atau makanan. Lengkap dengan dua roda dan dua tangkai sebagai pengendali.
Selain bak biru tadi, di atas konstruksi itu juga terdapat dua kotak lain berwarna krem. Satu berukuran sedang dan satu lagi berukuran kecil. Kotak berukuran sedang yang ditaruh melekat dengan tangkai berisi rangkaian elektronik yang berfungsi sebagai adaptor.
Sedangkan kotak kecil dengan tiga buah lampu kecil yang ditaruh di atasnya berfungsi sebagai indikator waktu. Bak biru dan dua kotak tersebut dihubungkan oleh beberapa lembar kabel.
Mengurai Zat Berbahaya
Selain bak biru tadi, di atas konstruksi itu juga terdapat dua kotak lain berwarna krem. Satu berukuran sedang dan satu lagi berukuran kecil. Kotak berukuran sedang yang ditaruh melekat dengan tangkai berisi rangkaian elektronik yang berfungsi sebagai adaptor.
Sedangkan kotak kecil dengan tiga buah lampu kecil yang ditaruh di atasnya berfungsi sebagai indikator waktu. Bak biru dan dua kotak tersebut dihubungkan oleh beberapa lembar kabel.
Mengurai Zat Berbahaya
Alat pengolah limbah yang diberi nama Unit Pengolahan Air Limbah Elektrokimia (UPAL-RE) Fakultas Teknik UNS ini, mampu mengurai tiga zat berbahaya yang dominan ditemukan di limbah industri batik, yaitu Rodhamin, Naptol, dan Rhemasol.
“Ketiga zat itu sering kita temukan dalam penelitian yang dilakukan sekitar pertengahan tahun 2012, dan dengan alat ini, zat tersebut dapat dihilangkan atau minimal dikurangi, sehingga tidak lagi berbahaya bagi lingkungan saat limbah dibuang ke sungai,” katanya.
Uji coba UPAL-RE sudah sering dilakukan sejak pertama digarap tahun 2009, termasuk diuji di kampung batik Kauman. Meskipun demikian, Budi mengaku alat tersebut masih dalam proses pengembangan dan penyempurnaan.
Walau memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, Budi mengaku cukup puas dengan hasilnya. Tim yang ia pimpin akhirnya mampu menciptakan alat pengolah limbah batik mobile dengan efisiensi tinggi. Khususnya dari cemaran zat sisa proses pewarnaan.
“Untuk air limbah dari proses pewarnaan sintetis efisiennya mencapai 75%, sedangkan yang untuk pewarna alam sampai 85%. Sementara untuk COD (Chemical Oxygen Demand) kami bisa lebih tinggi lagi, bisa sampai 85% untuk pewarna sintetis dan 90% untuk pewarna alam,” katanya.
Alat pengolah limbah batik didesain mampu mengolah sekitar 250 liter air limbah dalam waktu 30 hinga 40 menit. Untuk membuat satu unit alat pengolah limbah tersebut dibutuhkan biaya sekitar Rp 30 juta hingga Rp 35 juta.
Seperti diketahui, di kota Solo sendiri terdapat ratusan perajin batik yang tersebar di beberapa titik kampung kota Solo. Beberapa di antaranya tinggal di bantaran sungai Bengawan Solo.
Menarik Minat Konsultan Manajemen Kota Dari 7 Negara
Dosen Fakultas Teknik UNS itu mengimbuh, Upal-Re bisa berjalan efektif dalam pengolahan limbah cair batik karena bisa difungsikan secara perorangan. Lain halnya bila dibanding dengan yang ada selama ini, unit pengolah limbah komunal di kampung batik Laweyan Solo ternyata tidak efektif.
Unit pengolah limbah cair batik karya Budi ini sempat menarik perhatian konsultan manajemen kota dari 7 negara, di antaranya dari Swedia, Bangladesh, Korea Utara, India, dan Kamboja. Negara itu memang dikenal sebagai penghasil pewarna tekstil di dunia. Konsultan dari 7 negara itu sempat menemui Budi dan berdiskusi dengannya di kampus UNS Solo. Mereka juga menyaksikan langsung pengolahan limbah dengan Upal-Re di Kampung Batik Kauman Solo.
0 comments: