Motif songket kuno Minangkabau terancam punah. Tidak ada lagi pengrajin tenun songket yang membuat motif lama. Yang ada justru hanyut dengan songket hasil garmen luar negeri.
Setelah 7 tahun melanjutkan perjuangan orang tuanya merevitalitasi motif songket kuno rumah gadang di Minangkabau, Nanda Wirawan raih penghargaan Seal of Excellence dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) dalam kategori Award of Exellence for Handycraf di Malaysia pada Desember 2012.
Penghargaan itu diberikan pada karya yang bermotifkan Saluak Laka, sehelai seledang tersebut dibuat dengan motif kuno yang didapatkan di Halaban, Limapuluh Kota.
Lalau pembuatan motifnya memakan waktu hingga 1,5 tahun serta proses menenun selama 4 bulan. Pembuatan motif sempat terhenti setelah ayah Nanda, Alda Wimar meninggal. Baru kemudian dilanjutkan oleh suaminya, Iswandi.
“Saluak Laka ini dibuat atas nama cinta,” ucap jebolan teknik lingkungan Unand tahun 2006 ini (16/1).
Selain songket itu, Nanda juga mengangkat motif lama Koto Gadang bernama Saik Ajik Babungo.
Pada Awalnya, Nanda adalah pengelola Studio Songket ErikaRianti, yang berada di Jorong Panca Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat. Studio tersebut merupakan peninggalan orang tuanya yang didirikan sejak tahun 2000.
Menyadari bahwa motif songket kuno Minangkabau terancam punah, Studi Songket ErikaRianti berupaya untuk merevitalisasi motif-motif songket kuno di Minangkabau.
Proses revitalisasi itu tidak belangsung singkat, justru melalui perjuangan berburu motif dari pelosok negeri kuno Minangkabau, Pariangan sampai ke Museum Leiden, Belanda.
Adalah ayah Nanda, almarhum Alda Wimar yang mendirikan Studio Songket Erika Rianti. Dari berbagai koleksi foto, kemudian ditata kembali menjadi motif yang ditenun jadi satu kain songket yang halus nan menawan.
“Jika tidak ada lembaga yang memperhatikan songket ini, kita cemaskan songket akan punah. Apalagi pecinta koleksi songket makin hari makin banyak,” ujar Nanda.
Populerkan Songket ke Seluruh Dunia, Dari 2006 hingga sekarang baru sekitar 180 kain yang dapat diproduksi. Itupun lebih banyak untuk museum. Karena tinggi biaya produksi, songket hasil tenun studio ini terbilang eksklusif, harganya dari Rp2,5 juta hingga Rp25 juta.
“Saat ini kami sudah investasikan sekitar Rp1 miliar, itu baru sampai menutupi operasional. Belum ada kita dapat untung,” timpal Iswandi menambahkan istrinya.
Nanda berniat akan terus mempopulerkan songket Minangkabau di seluruh dunia, terutama untuk revitalisasi motif kuno. Saat ini rata-rata museum di Indonesia sudah mengoleksi motif songket kuno hasil revitalisasi Studio Songket ErikaRianti.
“Alhamdulilah semua museum di Indonesia sudah ada hasil tenun kami,” ujarnya.
Bahkan, hasil tenun Studio Songket ErikaRianti sudah banyak mendapatkan pesanan dari negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Setelah 7 tahun melanjutkan perjuangan orang tuanya merevitalitasi motif songket kuno rumah gadang di Minangkabau, Nanda Wirawan raih penghargaan Seal of Excellence dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) dalam kategori Award of Exellence for Handycraf di Malaysia pada Desember 2012.
Penghargaan itu diberikan pada karya yang bermotifkan Saluak Laka, sehelai seledang tersebut dibuat dengan motif kuno yang didapatkan di Halaban, Limapuluh Kota.
Lalau pembuatan motifnya memakan waktu hingga 1,5 tahun serta proses menenun selama 4 bulan. Pembuatan motif sempat terhenti setelah ayah Nanda, Alda Wimar meninggal. Baru kemudian dilanjutkan oleh suaminya, Iswandi.
“Saluak Laka ini dibuat atas nama cinta,” ucap jebolan teknik lingkungan Unand tahun 2006 ini (16/1).
Selain songket itu, Nanda juga mengangkat motif lama Koto Gadang bernama Saik Ajik Babungo.
Pada Awalnya, Nanda adalah pengelola Studio Songket ErikaRianti, yang berada di Jorong Panca Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Agam, Sumatera Barat. Studio tersebut merupakan peninggalan orang tuanya yang didirikan sejak tahun 2000.
Menyadari bahwa motif songket kuno Minangkabau terancam punah, Studi Songket ErikaRianti berupaya untuk merevitalisasi motif-motif songket kuno di Minangkabau.
Proses revitalisasi itu tidak belangsung singkat, justru melalui perjuangan berburu motif dari pelosok negeri kuno Minangkabau, Pariangan sampai ke Museum Leiden, Belanda.
Adalah ayah Nanda, almarhum Alda Wimar yang mendirikan Studio Songket Erika Rianti. Dari berbagai koleksi foto, kemudian ditata kembali menjadi motif yang ditenun jadi satu kain songket yang halus nan menawan.
“Jika tidak ada lembaga yang memperhatikan songket ini, kita cemaskan songket akan punah. Apalagi pecinta koleksi songket makin hari makin banyak,” ujar Nanda.
Populerkan Songket ke Seluruh Dunia, Dari 2006 hingga sekarang baru sekitar 180 kain yang dapat diproduksi. Itupun lebih banyak untuk museum. Karena tinggi biaya produksi, songket hasil tenun studio ini terbilang eksklusif, harganya dari Rp2,5 juta hingga Rp25 juta.
“Saat ini kami sudah investasikan sekitar Rp1 miliar, itu baru sampai menutupi operasional. Belum ada kita dapat untung,” timpal Iswandi menambahkan istrinya.
Nanda berniat akan terus mempopulerkan songket Minangkabau di seluruh dunia, terutama untuk revitalisasi motif kuno. Saat ini rata-rata museum di Indonesia sudah mengoleksi motif songket kuno hasil revitalisasi Studio Songket ErikaRianti.
“Alhamdulilah semua museum di Indonesia sudah ada hasil tenun kami,” ujarnya.
Bahkan, hasil tenun Studio Songket ErikaRianti sudah banyak mendapatkan pesanan dari negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
0 comments: